Sebelum masuk lebih dalam saya memberi respons terhadap materi kali ini, saya bermaksud untuk memahami kembali yang dimaksud dengan konstruksi sosial. Takutnya terlalu jauh memberi respons sedangkan dari konsep dasarnya sendiri saya belum begitu memahaminya.
Ternyata saya bisa menemukan istilah ini dalam kehidupan sehari-hari –bukan sesuatu yang sangat awam.
Ketika saya bertanya, “Bagaimana kita bisa menilai sesuatu. Apakah hal tersebut baik atau buruk. Atau apakah hal tersebut benar atau salah. Pantas atau tidak pantas untuk dilakukan.”
Mudahnya, mengapa pakaian anak laki-laki sering diasosiasikan dengan warna biru dan anak perempuan diasosiasikan dengan warna merah muda? Mengapa laki-laki tidak boleh menggunakan rok? Mengapa perempuan ingin memiliki kulit putih dan tubuh ramping? Siapa sebenarnya yang (telah/berhak) menentukannya?
Jawabannya ada pada teori konstruksi sosial (social construction). Dari teori inilah yang bisa membantu kita secara kritis mendalami serta mempertanyakan bagaimana manusia dapat memproduksi pengetahuan, mendistribusikannya, hingga meresapinya sebagai sebuah kebenaran yang natural.
Konstruksi sosial bisa dengan mudah diartikan sebagai sebuah pemahaman yang kolektif tentang sebuah konsep yang terbentuk dalam tatanan masyarakat. Hal tersebutlah yang membuat banyak hal-hal yang kita anggap lumrah dan masuk akal hari ini sebenarnya dibentuk, dikonstruksi, dan disepakati dalam ranah sosial pada masa tertentu.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa pembahasan agama sebagai konstruksi sosial adalah kita melihat agama sebagai sebuah tatanan, sesuatu yang dibentuk, dikonstruksi, dan disepakati dalam ranah sosial bermasyarakat. Khususnya dalam masa Freud dan Marx, karena kedua tokoh inilah yang menjadi fokus bahasan materi kali ini.
Kedua tokoh ini nampaknya memiliki sudut pandang yang berbeda, karena mereka memang dari latar belakang yang berbeda.
Freud yang memiliki latar belakang psikolog lebih melihat bahwa orang-orang yang berkecimpung dalam dunia agama merupakan sebuah dorongan dari kekuatan besar yang ada pada dalam dirinya, yaitu kondisi bawah sadarnya (Pals, 2012:115). Bahkan ekstrimnya, Freud mengungkap bahwa agama dianggap sebagai penyakit syarat karena Freud mampu mengungkap motif-motif pikiran dan tingkah laku manusia hingga yang bersifat rahasia.
Sedangkan Marx yang seorang filsuf dengan paham komunis, lebih memandang agama sebagai sesuatu pengalihan atas penderitaan dan kepedihan yang dialami masyarakat sehingga mereka bisa lebih ringan melalui fantasi tentang dunia supranatural tempat dimana tidak ada lagi penderitaan dan penindasan. Menurut Marx, hal inilah yang membuat agama sebagai candu, semata-mata hanya untuk pelarian dari kenyataan.
Melihat kedua pandangan dari Freud dan Marx tentang agama, sebenarnya mereka memiliki definisi yang sama terkait agama, yaitu sebagai kepercayaan kepada Tuhan atau keyakinan Monoteisme, meskipun mereka hanya melihatnya dari permukaan saja. Selain itu, keduanya sama-sama beranggapan bahwa agama sebagai sumber masalah dalam masyarakat.
Dari kepercayaan terhadap agama diatas, tentunya akan memunculkan norma-norma berlaku dalam masyarakat pada masa itu, sehingga bisa menjadi sebuah identitas sosial. Dari pemikiran tersebut muncul anggapan bahwa agama akan membuat setiap individu tidak berkembang dan memiliki kecenderungan pasrah terhadap apa yang akan mereka terima.
Namun terlepas dari itu, dengan mengetahui pandangan mereka tentang agama, saya jadi lebih mengetahui baik kekurangan dan kelebihan kedua tokoh tersebut dan menjadikan saya lebih mantab dalam beragama yang saya anut. Saya menjadi tidak sabar untuk berdiskusi lebih lanjut pada perkuliahan pertemuan ketiga mata kuliah Studi Agama.
Sumber:
Pals, Daniel L. 2012. Seven Theories of Religion. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD.
0 comments