Pada pertemuan kedua mata kuliah Study Agama yang diampu oleh Bapak Dr. Hasse Jubba, MA, kami berdiskusi topik "Asal-usul Agama: Peta Umum Agama-agama".
Dimulai dengan pengantar bahwa kata agama sendiri merupakan kata yang sebenarnya tidak dapat didefinisikan, namun hanya dapat di deskripsikan. Karena memang menurut Olson (2003), secara alamiah agama merupakan hal yang sulit untuk di ekspresikan dalam bahasa.
Akan tetapi, ada beberapa ahli yang memberikan definisi tentang agama. Meskipun mereka sadar bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukan, apalagi membuat definisi yang tunggal.
Akan tetapi, ada beberapa ahli yang memberikan definisi tentang agama. Meskipun mereka sadar bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukan, apalagi membuat definisi yang tunggal.
DEFINISI AGAMA
Berikut beberapa definisi agama menurut beberapa ahli yang dapat dijadikan sebagai pandangan:1. Kottak, 2011
Agama mengacu pada kepercayaan dan ritual yang berfokus pada 'sesuatu' yang supernatural, memiliki kekuasaan, serta kekuatan.
2. Durkheim, 1915
Sebuah sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal yang disebut Gereja, semua orang yang telah mematuhinya.
3. Geertz, 2003
Agama sebagai (1) sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenaik suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak realistis.
Agama mengacu pada kepercayaan dan ritual yang berfokus pada 'sesuatu' yang supernatural, memiliki kekuasaan, serta kekuatan.
2. Durkheim, 1915
Sebuah sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal yang disebut Gereja, semua orang yang telah mematuhinya.
3. Geertz, 2003
Agama sebagai (1) sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenaik suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak realistis.
4. Sutan Takdir Alisyahbana,
Suatu kumpulan tentang tata cara mengabdi kepada Tuhan yang terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau mengatakan bahwa agama merupakan suatu ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi.
Agama merupakan sistem yang mengatur tata keimanan atau kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia lainnya.
ELEMEN-ELEMEN/KARAKTERISTIK AGAMA
Sebuah agama tentunya memiliki elemen atau karakteristik yang ada didalamnya. Terdapat beberapa elemen/karakteristik agama yang dijelaskan dibawah ini,Menurut Koentjaraningrat
Koentjaraningrat mengajukan lima komponen sistem religi. Kelima komponen tersebut adalah emosi keagamaan, umat beragama, sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara keagamaan, dan peralatan ritus dan upacara. Komponen-komponen tersebut saling berhubungan satu sama lain seperti ilustrasi dalam bagan seperti berikut ini.
Koentjaraningrat mengajukan lima komponen sistem religi. Kelima komponen tersebut adalah emosi keagamaan, umat beragama, sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara keagamaan, dan peralatan ritus dan upacara. Komponen-komponen tersebut saling berhubungan satu sama lain seperti ilustrasi dalam bagan seperti berikut ini.
Menurut Glock dan Stark
Dalam bukunya, American Piety: The Nature of Religius Commitment, C.Y. Glock dan R. Stark (1988) menyebut ada lima dimensi keagamaan dalam diri manusia, yakni dimensi praktek agama, dimensi keyakinan, dimensi pengetahuan agama, dimensi pengalaman keagamaan dan dimensi konsekuensi.
a. Religius Ractice (The Ritualistic Dimension)
Religius Ractice (The Ritualistic Dimension) yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual di dalam agamanya. Unsur yang ada dalam dimensi ini mencakup pemujaan, kultur serta hal-hal yang lebih menunjukkan komitmen seseorang dalam agama yang dianutnya.
Wujud dari dimensi ini adalah perilaku masyarakat pengikut agama tertentu dalam menjalankan ritus-ritus yang berkaitan dengan agama. Dimensi praktek dalam agama Islam dapat dilakukan dengan menjalankan ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya.
b. Religius Belief (The Ideological Dimension)
Religius Belief atau disebut juga dimensi keyakinan adalah tingkat sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik didalam ajaran agamanya. Misalnya kepercayaan tentang adanya Tuhan, Malaikat, kitab-kitab, Nabi dan Rasul, hari kiamat, surga, nerakan, dan lain-lain yang bersifat dogmatik. Meskipun diakui setiap agama memiliki seperangkat kepercayaan yang secara doktriner berbeda dengan agama lainnya, bahkan untuk agamanya saja terkadang muncul paham yang berbeda dan tidak jarang berlawanan.
Pada dasarnya setiap agama juga menginginkan adanya unsur ketaatan bagi setiap pengikutnya. Dalam begitu adapun agama yang dianut oleh seseorang, makna yang terpenting adalah kemauan untuk mematuhi aturan yang berlaku dalam ajaran agama yang dianutnya. Jadi dimensi keyakinan lebih bersifat doktriner yang harus ditaati oleh penganut agama.
c. Religius Knowledge (The Intellectual Dimension)
Religius knowledge atau dimensi pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab suci maupun yang lainnya. Paling tidak seseorang yang beragama harus mengetahui hal-hal pokok mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.
Dimensi ini menunjukkan dalam Islam menunjuk kepada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya terutama mengenai ajaran pokok agamanya, sebagaimana yang termuat di dalam kitab suci lainnya. Hal ini berhubungan dengan aktivitas seseorang untuk mengetahui ajara-ajaran dalam agamanya.
d. Religius Feeling (The Experiental Dimension)
Religius feeling adalah dimensi yang terdiri dari perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dirasakan dan dialami. Misalnya seseorang merasa dekat dengan Tuhan, seseorang merasa takut berbuat dosa, seseorang merasa doanya dikabulkan Tuhan, dan sebagainya.
Ancok dan Suroso (1995) mengatakan kalau dalam Islam dimensi ini dapat terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan bertawakal (pasrah diri dalam hal yang positif) kepada Allah. Perasaan khusuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan bergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al Quran, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah.
e. Religius Effect (The Consequential Dimension)
Yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang konsekuen oleh ajaran agamanya di dalam kehidupannya. Dari kelima aspek religius diatas, semakin tinggi penghayatan dan pelaksanaan seseorang terhadap kelima dimensi tersebut, maka semakin tinggi tingkat religiusitasnya. Tingkat religiusitas seseorang akan tercermin dari sikap dan perilakunya sehari-hari yang mengarah kepada perilaku yang sesuai dengan tuntutan agama.
The consequential dimension yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan sosial. Misalnya apakah ia mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan hartanya, ikut dalam kegiatan konversasi lingkungan, ikut melestarikan lingkungan alam dan lain-lain.
Ancok dan Suroso (1995) mengatakan bahwa dalam Islam, dimensi ini dapat diwujudkan dnegan melakukan perbuatan atau perilaku yang baik sebagai amalan sholeh sebagai muslim, yaitu meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, bederma, mensejahterakan dan menumbuhkembangkan orang lain, menegaskan kebenaran dan keadilan, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum minuman yang memabukkan, mematuhi norma Islam dalam perilaku sesual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam dan sebagainya.
KRITIK
Lemert menegaskan bahwa definisi-definisi tersebut dimana agama 'dikembalikan' pada sesuatu yang bersifat supranatural sangat eksklusif, karena mengecualikan fenomena-fenomena seperti yang dikenal dalam agama-agama modern non gereja.Agama merupakan 'sesuatu' yang menggantikan kepercayaan/keyakinan lama manusia. Agama senantiasa berdampingan dengan sejarah manusia itu sendiri.
DARIMANA ASAL AGAMA ITU?
Menurut Teori Jiwa Edward Burnett Tylor (Primitive Culture, 1871),"Agama berasal dari kesadaran manusia akan faham jiwa".
Perbedaan yang tampak kepada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Suatu makhluk pada suatu saat bergerak-gerak, artinya hidup; tetapi tak lama kemudia makhluk tadi tak bergerak lagi, artinya mati. Demikian manusia lambat laun mulai sadar bahwa gerak dalam alam itu, atau hidup itu, disebabkan oleh suatu hal yang ada di samping tubuh-jasmani dan kekuatan itulah yang disebut jiwa.
Peristiwa mimpi. Dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain daripada tempat tidurnya. Demikian manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke lain tempat. Bagian lain itulah yang disebut jiwa.
Perbedaan yang tampak kepada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Suatu makhluk pada suatu saat bergerak-gerak, artinya hidup; tetapi tak lama kemudia makhluk tadi tak bergerak lagi, artinya mati. Demikian manusia lambat laun mulai sadar bahwa gerak dalam alam itu, atau hidup itu, disebabkan oleh suatu hal yang ada di samping tubuh-jasmani dan kekuatan itulah yang disebut jiwa.
Peristiwa mimpi. Dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain daripada tempat tidurnya. Demikian manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke lain tempat. Bagian lain itulah yang disebut jiwa.
Bagi Tylor, agama adalah "the belief in spritual beings": kepercayaan terhadap makhluk ghaib.
Agama berkembang dari animismen -> politeistik -> monoteistik
Masyarakat berevolusi dalam tahap yang bermula dari savagery (animisme), ke barbarism (politeisme), menuju civilization (monoteisme).
Sumber:
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jplg3db990f80afull.pdf
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jplg3db990f80afull.pdf
http://etheses.uin-malang.ac.id/1194/6/10410066_Bab_2.pdf
http://repository.uinsu.ac.id/10236/1/diktat.pdf
http://repository.uinsu.ac.id/10236/1/diktat.pdf
https://science.jrank.org/pages/11169/Rituals-in-Religion-Evolutionary-Anthropology.html
0 comments