Ngobrol sama temen bertukar kabar hingga akhirnya ada satu pertanyaan yg membawa aku akhirnya nulis artikel ini. Kalo nggak gini keknya blog ini bakal usang tak berpenghuni wkwkw. Terimakasyi temankuu, sudah kasih ide yg bikin aku tergerak nulis lagi, karna menurutku hal ini penting dan aku pengen mengabadikannya dalam tulisan, ga hanya dipikiran aja.
"Tp kak di antara riweuhnya jd ibu baru ini, aku merasa lebih kenal diriku. Sadar kalau utk jd ibu yg dibutuhkan anakku, aku mesti menyembuhkan diri dan terus belajar. Sejauh 6 bulan ini apa yg kaka rasakan?"
Seorang ibu baru ditanyain kayak begini rasanya ingin cerita banyakk halllll duehh. Tapi satu hal yg (menurutku) perlu di cetak tebal adalah tentang "mengenal diri sendiri" untuk selanjutnya kita "merima" semua yg melekat di diri ini.
Nggak cuma jadi ibu aja.
Tapi jadi istri pun aku rasa harus demikian.
"Tp kak di antara riweuhnya jd ibu baru ini, aku merasa lebih kenal diriku. Sadar kalau utk jd ibu yg dibutuhkan anakku, aku mesti menyembuhkan diri dan terus belajar. Sejauh 6 bulan ini apa yg kaka rasakan?"
Seorang ibu baru ditanyain kayak begini rasanya ingin cerita banyakk halllll duehh. Tapi satu hal yg (menurutku) perlu di cetak tebal adalah tentang "mengenal diri sendiri" untuk selanjutnya kita "merima" semua yg melekat di diri ini.
Nggak cuma jadi ibu aja.
Tapi jadi istri pun aku rasa harus demikian.
Untuk apapun saat kita mengemban peran kehidupan.
Ketika kita memutuskan untuk hidup bersama orang lain, punya tujuan bersama yg ingin dicapai bersama dengan nilai-nilai yg dianut, ya idealnya masing masing pribadi harus selesai dengan dirinya sendiri.
Tapi pertanyaannya, emang yang dikatakan selesai itu kek mana sih?
Ikutin kajian secara offline di masjid-masjid.
Ikutin banyak komunitas-komunitas.
Baca buku apapun dari agama, self-dev, biografi, history, science, dll.
Nontonin film/drama, supaya ngerti orang lain tuh cara berfikir dan bersikapnya kayak apa (sebegitu zero nya ilmu ttg manusia, dan TMI aku dulu anaknya apatis dan bangga akan itu. Sampe2 kakakku aja nulis di blognya karna kesel banget kaliya punya adek bebal bgt😮💨. Kalo aku yg jadi kakaknya jg males kaliya punya adek cem aku jaman remaja labil)
dan masihh banyakk lagi lainnya yg ga bisa aku sebutin satu satu.
Terus aku menyadari bahwa apa yang aku lakukan terlalu fokus melihat keluar (eksternal). Ini pun nyadarnya lama btw. Aku mulai 'mencari tahu' itu sejak aku kuliah sarjana (sekitar tahun 2016-2017) sampe pas kerja di Bandung pun masih dalam proses sampai sekarang pun berproses.
Gak sepenuhnya salah sih. Cuman, nyatanya pencerahan yg ku cari itu nyarinya ga diluar, tapi justru dengan menyelam kedalam diri.
Karena di saat kita nyari keluar, semua yang kita cari itu sebenernya adalah bentuk penafsiran pikiran yang membentuk identitas alam sadar yaitu ego. Saat kita nempel sama ego, 'pencerahan-pencerahan' yang kita dapetin itu dipastikan semuanya cuma semu. Terus pada akhirnya bakal memperburuk kekosongan yang ada di dalam diri.
So, inilah kenapa kita baiknya harus menyelam ke dalam diri buat dapetin pencerahan.
Tahu ga sih, saat kita menyelam ke dalam diri, pada akhirnya kita bakal ngerti kalo kehidupan kita sebagai manusia itu sebenernya udah sempurna apa adanya, di mana kita menerima semua yang ada di dalam diri kita. Kalo di psikologi ini yang biasa disebut sebagai "acceptance" atau penerimaan. Tahapan apa aja yang perlu dilewatin?
1. Kita melakukan refleksi diri buat tahu dan paham sebenernya bagaimana sifat sejati diri kita, kita bisa menerima semua pengalaman kehidupan yang terjadi pada diri kita, segala trauma, inner child pun luka batin.
2. Kita menerima semua hal-hal berlawanan yang ada di kehidupan kita, seperti: surga/neraka, baik/buruk, suci/dosa, jujur/bohong dan lainnya yang bersumber pada dualitas. Di saat kita menerima segala dualitas kehidupan, pada akhirnya kita ngerti dan nerima bahwa Allah berada di dalam diri setiap manusia.
3. Kita paham bahwa kehidupan yang kita jalani ini sudah punya kualitas untuk menjadi penuh seutuhnya di mana jiwa, raga beserta pikiran menjadi satu hingga akhirnya kita tersadar bahwa hidup yang kita ini jalani bukanlah sementara melainkan jalan menuju kehidupan abadi dan kita menerima bahwa kematian adalah jalan menuju keutuhan untuk kehidupan yang kekal.
4. Kita tersadar akan kehidupan sekeliling kita yang masih terjebak di dalam ilusi kehidupan yang bersumber pada dogma/doktrin/norma dan kita ga memaksa orang-orang yang ada di sekitar untuk melakukan perubahan. Hingga akhirnya kita menerima bahwa perubahan itu asalnya dari dalam diri. So, ga perlu memaksakan pandangan hidup kita ke mereka.
5. Self-transcendence: di mana kita melakukan terobosan demi terobosan di dalam kehidupan yang ga pernah kita bayangin sebelumnya. Kita melakukan kebermanfaatan untuk umat (orang lain) atas potensi yang kita miliki.
Ketika kita memutuskan untuk hidup bersama orang lain, punya tujuan bersama yg ingin dicapai bersama dengan nilai-nilai yg dianut, ya idealnya masing masing pribadi harus selesai dengan dirinya sendiri.
Tapi pertanyaannya, emang yang dikatakan selesai itu kek mana sih?
Flashback di jaman aku lagi galau-galaunya mikirin life-goals, i have no clue aku ini hidup sebenernya punya 'tugas mulia' apa? Peranku sehingga aku diciptakan sama Allah tuh ngapain? Nggak mungkin dong cuman karna 'ya pengen aja'?
Dan diantara pergulatan pikiran dan batin itu, aku semakin sedar bahwa aku ga kenal sama diriku sendiri. Gimana cara 'menghandle diriku sendiri' pun aku ga paham. Ibadah yg selama ini dilakukan pun rasanya kosong. Banyak banget yang terasa asing padahal udah 20an tahun bareng-bareng.
Disitu aku mulai mencari-cari pencerahan.
Mulai nontonin kajian-kajian yang di youtube.
Disitu aku mulai mencari-cari pencerahan.
Mulai nontonin kajian-kajian yang di youtube.
Ikutin kajian secara offline di masjid-masjid.
Ikutin banyak komunitas-komunitas.
Baca buku apapun dari agama, self-dev, biografi, history, science, dll.
Nontonin film/drama, supaya ngerti orang lain tuh cara berfikir dan bersikapnya kayak apa (
dan masihh banyakk lagi lainnya yg ga bisa aku sebutin satu satu.
Terus aku menyadari bahwa apa yang aku lakukan terlalu fokus melihat keluar (eksternal). Ini pun nyadarnya lama btw. Aku mulai 'mencari tahu' itu sejak aku kuliah sarjana (sekitar tahun 2016-2017) sampe pas kerja di Bandung pun masih dalam proses sampai sekarang pun berproses.
Gak sepenuhnya salah sih. Cuman, nyatanya pencerahan yg ku cari itu nyarinya ga diluar, tapi justru dengan menyelam kedalam diri.
Karena di saat kita nyari keluar, semua yang kita cari itu sebenernya adalah bentuk penafsiran pikiran yang membentuk identitas alam sadar yaitu ego. Saat kita nempel sama ego, 'pencerahan-pencerahan' yang kita dapetin itu dipastikan semuanya cuma semu. Terus pada akhirnya bakal memperburuk kekosongan yang ada di dalam diri.
So, inilah kenapa kita baiknya harus menyelam ke dalam diri buat dapetin pencerahan.
Tahu ga sih, saat kita menyelam ke dalam diri, pada akhirnya kita bakal ngerti kalo kehidupan kita sebagai manusia itu sebenernya udah sempurna apa adanya, di mana kita menerima semua yang ada di dalam diri kita. Kalo di psikologi ini yang biasa disebut sebagai "acceptance" atau penerimaan. Tahapan apa aja yang perlu dilewatin?
1. Kita melakukan refleksi diri buat tahu dan paham sebenernya bagaimana sifat sejati diri kita, kita bisa menerima semua pengalaman kehidupan yang terjadi pada diri kita, segala trauma, inner child pun luka batin.
Bahkan buat paham hingga tahap nerima aja susahnya minta ampun!
2. Kita menerima semua hal-hal berlawanan yang ada di kehidupan kita, seperti: surga/neraka, baik/buruk, suci/dosa, jujur/bohong dan lainnya yang bersumber pada dualitas. Di saat kita menerima segala dualitas kehidupan, pada akhirnya kita ngerti dan nerima bahwa Allah berada di dalam diri setiap manusia.
3. Kita paham bahwa kehidupan yang kita jalani ini sudah punya kualitas untuk menjadi penuh seutuhnya di mana jiwa, raga beserta pikiran menjadi satu hingga akhirnya kita tersadar bahwa hidup yang kita ini jalani bukanlah sementara melainkan jalan menuju kehidupan abadi dan kita menerima bahwa kematian adalah jalan menuju keutuhan untuk kehidupan yang kekal.
4. Kita tersadar akan kehidupan sekeliling kita yang masih terjebak di dalam ilusi kehidupan yang bersumber pada dogma/doktrin/norma dan kita ga memaksa orang-orang yang ada di sekitar untuk melakukan perubahan. Hingga akhirnya kita menerima bahwa perubahan itu asalnya dari dalam diri. So, ga perlu memaksakan pandangan hidup kita ke mereka.
5. Self-transcendence: di mana kita melakukan terobosan demi terobosan di dalam kehidupan yang ga pernah kita bayangin sebelumnya. Kita melakukan kebermanfaatan untuk umat (orang lain) atas potensi yang kita miliki.
Kalo ga salah, update terbaru teori kebutuhan Maslow di puncak piramida pun bukan lagi self-actualization tapi bertambah lagi self-transcendence ini. Artinya? Ini masuk dalam kebutuhan tiap manusia, lho!
"Jadi, agaknya kamu sudah tahu betul dirimu beserta mission of lifenya. Betul?"
Allah sebaik-baiknya perencana. Dan kita hanyalah Hamba-Nya yang berusaha.
Penyebab kita melakukan ini karena kita akhirnya paham bahwa penderitaan dalam kehidupan itu sebenernya diperluin buat mengeluarkan berbagai kemampuan tersembunyi di dalam diri. Kita pun menerima bahwa penderitaan yang kita jalani memberikan makna mendalam untuk kehidupan yang lebih baik ke depannya dalam bentuk tujuan hidup atau life purpose.
Saat kita lewatin semua ini, maka akhirnya sadar bahwa kita telah selesai dengan diri sendiri akan berbagai trauma, inner child juga luka batin dan ini gilirannya untuk melakukan perubahan radikal untuk menyembuhkan kehidupan kita beserta orang-orang sekitar. Tanpa disadari, kita pun melakukan acceptance atau penerimaan di mana kita akan menerima bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, lengkap dengan sisi positif dan negatif yang saling mengisi di dalam kehidupannya.
Saat kita lewatin semua ini, maka akhirnya sadar bahwa kita telah selesai dengan diri sendiri akan berbagai trauma, inner child juga luka batin dan ini gilirannya untuk melakukan perubahan radikal untuk menyembuhkan kehidupan kita beserta orang-orang sekitar. Tanpa disadari, kita pun melakukan acceptance atau penerimaan di mana kita akan menerima bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, lengkap dengan sisi positif dan negatif yang saling mengisi di dalam kehidupannya.
Idealnya, ini semua cukup penting untuk kita lewatin sebelum memutuskan hidup dengan orang lain (re: menikah, punya anak)
"Jadi, agaknya kamu sudah tahu betul dirimu beserta mission of lifenya. Betul?"
Allah sebaik-baiknya perencana. Dan kita hanyalah Hamba-Nya yang berusaha.
Aku bukan manusia yang sempurna dan menuntut kesempurnaan. Tapi melakukan usaha sebisa yg aku usahakan.
Blueprint emang udah dipegang. Ketika menikahpun karna dalam kapalnya udh ga sendirian lagi kami berbagi. Tapi siapa sih kita, apa bisa jamin itu yg terbaik.
Yang bisa memberi jaminan cuman Allah. Jadi ada lah ya proposalnya dari kami.
Semoga Allah mampukan dan mudahkan segalanya. Begitupun dengan kalian. Aamin.